Minggu, 22 November 2015

Islam dan Dunia Internasional : Feminisme

Dunia saat ini semakin berkembang. Pada zaman dahulu, manusia hanya bisa berkomunikasi secara langsung dalam waktu yang lama. Mencari makan serta jalur informasi yang berkembang memerlukan waktu lama. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pengetahuan manusia bertambah, dan memicu mereka untuk menciptakan teknologi-teknologi yang dapat meringankan kehidupan mereka. Salah satu hal yang 'mungkin' menjadi suatu kebiasaan yang tidak berubah adalah pembagian tugas antara pria dan wanita. Sejak jaman dahulu, secara natural laki-laki dan wanita saling membagi tugas untuk menyokong hubungan kehidupan mereka. Pria, dengan kekuatan dan keperkasaannya menjadi pemimpin dalam keluarga atau kelompok, dan bertugas untuk melakukan pekerjaan berat seperti mencari makanan, sedangkan wanita bertugas untuk mengurus kehidupan dalam kelompok atau rumah tangga. Pria mempunyai kedudukan atau derajat yang lebih tinggi daripada wanita. Plato, dalam perumusan sistem politik yang dipikirkannya, menjelaskan bahwa pria mempunyai hak dalam memainkan peran dalam dunia politik sedangkan wanita tidak. Dalam pemahaman umum di dunia ini pun, kaum pria mempunyai keuntungan dan keleluasaan dalam berekspresi sedangkan wanita tidak. Pria selalu berada satu derajat lebih tinggi daripada wanita.

Adanya perbedaan derajat yang memisahkan pria dan wanita ini membuat wanita pada masa ini berontak. 'Pemberontakan' ini kemudian memunculkan adanya istilah feminisme. Feminisme adalah suatu paham atau aliran pemikiran yang ingin menyetarakan derajat wanita dengan pria. Kata feminisme lahir setelah terlaksananya Konferensi International Wanita pertama pada tahun 1892. Feminisme mempunyai arti yang berbeda- dapat diartikan sebagai pergerakan grup politik di AS, dan juga dapat dijelaskan sebuah pergerakan yang mendukung hilangnya ketidaksetaraan antara pria dan wanita.

Diantara berbagai bentuk gerakan feminisme yang muncul, terdapat 2 tuntutan yang ingin disampaikan oleh para feminis, yaitu bagaimana keadaan seharusnya wanita diperlakukan pada ranah keadilan dan bagaimana keadaan sebenarnya yang terjadi, serta dihadapi oleh eanita mengenai keadilan. Para feminis sering menargetkan wanita-wanita muslim sebagai salah satu ‘tugas pembebasan’ yang harus mereka kerjakan. Seperti yang diketahui, wanita dalam ajaran Islam mempunyai hak-hak terbatas, serta kedudukannya dengan pria pun tidak sejajar. Sebagai contoh, dalam hukum waris yang ditetapkan oleh ajaran Islam, wanita hanya mendapatkan setengah dari hak waris yang didapatkan oleh pria. Selain itu, wanita pun hanya melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan merawat rumah, anak dan suaminya. Dalam berbusana pun wanita diwajibkan menutup auratnya. Kebebasan untuk memperoleh pendidikan pun dikekang oleh satu suku Islam. Hal-hal ini menjadi sorot utama yang harus dihapuskan, menurut para feminis. Mereka beranggapan bahwa wanita muslim, menjadi korban, karena ruang geraknya yang terbatas. Berbagai cara pun dilakukan oleh para feminis ini.



Pada 13 September 2015, pelaksanaan Konferensi Muslim di Perancis sempat terganggu sesaat dikarenakan oleh aksi feminist. Dua orang feminist FEMEN menerobos masuk ke panggung utama saat konferensi berlangsung tanpa mengenakan baju. Keduanya merebut mikrofon dan segera menyerukan slogan feminis dalam bahasa perancis dan arab, atas nama wanita muslim. Dengan segera keduanya diturunkan secara paksa dari panggung. Menurut berita yang dilansir oleh harian Telegraph, pada badan kedua feminis tersebut, tertulis kata-kata "No One Subjugates Me" dan "I Am My Own Prophet". FEMEN adalah gerakan feminis radikal yang menggunakan aksi telanjang dada dalam menyampaikan pendapat atau melakukan  kampanye. FEMEN sudah sangat dikenal di kalangan internasional mengingat metode penyampaian kampanye yang tidak biasa, serta keterlibatan mereka dalam berbagai kasus yang menyangkut wanita.

Kegiatan 'pembelaan' yang dilakukan oleh para feminist ini dapat dinilai positif dan negatif. Positif, karena mereka memperjuangkan dan melindungi hak-hak wanita. Seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi, kegiatan dengan tujuan positif ini berubah arti menjadi negatif ketika dalam proses perwujudannya melalui hal-hal yang tidak sepantasnya, seperti yang dilakukan oleh kedua feminis tersebut. Selain itu, jika yang menjadi poin para feminis adalah untuk kebebasan perempuan, maka seharusnya mereka tidak harus memaksa wanita muslim untuk mengikuti 'kaidah' feminisme yang mereka junjung. Setiap kaum feminis memiliki pandangan tersendiri terhadap bentuk keadilan dan keseteraan apa yang harus dilaksanakan dan didapat oleh wanita. Perbedaan-perbedaan keadaan wanita di setiap negara itu seharusnya disesuaikan oleh feminis dalam menjalankan tujuan penyetaraan mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar