Dunia saat ini semakin berkembang. Pada zaman dahulu, manusia
hanya bisa berkomunikasi secara langsung dalam waktu yang lama. Mencari makan
serta jalur informasi yang berkembang memerlukan waktu lama. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, pengetahuan manusia bertambah, dan memicu mereka
untuk menciptakan teknologi-teknologi yang dapat meringankan kehidupan
mereka. Salah satu hal yang 'mungkin' menjadi suatu kebiasaan yang tidak
berubah adalah pembagian tugas antara pria dan wanita. Sejak jaman dahulu,
secara natural laki-laki dan wanita saling membagi tugas untuk menyokong
hubungan kehidupan mereka. Pria, dengan kekuatan dan keperkasaannya menjadi
pemimpin dalam keluarga atau kelompok, dan bertugas untuk melakukan pekerjaan
berat seperti mencari makanan, sedangkan wanita bertugas untuk mengurus
kehidupan dalam kelompok atau rumah tangga. Pria mempunyai kedudukan atau
derajat yang lebih tinggi daripada wanita. Plato, dalam perumusan sistem
politik yang dipikirkannya, menjelaskan bahwa pria mempunyai hak dalam
memainkan peran dalam dunia politik sedangkan wanita tidak. Dalam pemahaman
umum di dunia ini pun, kaum pria mempunyai keuntungan dan keleluasaan dalam
berekspresi sedangkan wanita tidak. Pria selalu berada satu derajat lebih
tinggi daripada wanita.
Adanya perbedaan derajat yang memisahkan
pria dan wanita ini membuat wanita pada masa ini berontak. 'Pemberontakan' ini
kemudian memunculkan adanya istilah feminisme. Feminisme adalah suatu paham
atau aliran pemikiran yang ingin menyetarakan derajat wanita dengan pria. Kata
feminisme lahir setelah terlaksananya Konferensi International Wanita pertama
pada tahun 1892. Feminisme mempunyai arti yang berbeda- dapat diartikan sebagai
pergerakan grup politik di AS, dan juga dapat dijelaskan sebuah pergerakan yang
mendukung hilangnya ketidaksetaraan antara pria dan wanita.
Diantara berbagai bentuk gerakan feminisme
yang muncul, terdapat 2 tuntutan yang ingin disampaikan oleh para feminis, yaitu bagaimana keadaan seharusnya wanita diperlakukan pada ranah keadilan dan bagaimana keadaan sebenarnya yang terjadi, serta dihadapi oleh eanita mengenai keadilan.
Para feminis sering menargetkan wanita-wanita muslim sebagai salah satu ‘tugas
pembebasan’ yang harus mereka kerjakan. Seperti yang diketahui, wanita dalam
ajaran Islam mempunyai hak-hak terbatas, serta kedudukannya dengan pria pun
tidak sejajar. Sebagai contoh, dalam hukum waris yang ditetapkan oleh ajaran
Islam, wanita hanya mendapatkan setengah dari hak waris yang didapatkan oleh
pria. Selain itu, wanita pun hanya melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan
merawat rumah, anak dan suaminya. Dalam berbusana pun wanita diwajibkan menutup
auratnya. Kebebasan untuk memperoleh pendidikan pun dikekang oleh satu suku Islam. Hal-hal ini menjadi sorot utama yang harus dihapuskan, menurut para
feminis. Mereka beranggapan bahwa wanita muslim, menjadi korban, karena ruang
geraknya yang terbatas. Berbagai cara pun dilakukan oleh para feminis ini.
Pada 13 September 2015, pelaksanaan
Konferensi Muslim di Perancis sempat terganggu sesaat dikarenakan oleh aksi
feminist. Dua orang feminist FEMEN menerobos masuk ke panggung utama saat konferensi
berlangsung tanpa mengenakan baju. Keduanya merebut mikrofon dan segera menyerukan
slogan feminis dalam bahasa perancis dan arab, atas nama wanita muslim. Dengan segera keduanya diturunkan
secara paksa dari panggung. Menurut berita yang dilansir
oleh harian Telegraph, pada badan kedua feminis tersebut, tertulis kata-kata "No One Subjugates Me" dan "I Am My Own Prophet". FEMEN adalah gerakan feminis radikal yang menggunakan aksi telanjang dada dalam menyampaikan pendapat atau melakukan kampanye. FEMEN sudah sangat dikenal di kalangan internasional mengingat metode penyampaian kampanye yang tidak biasa, serta keterlibatan mereka dalam berbagai kasus yang menyangkut wanita.
Kegiatan 'pembelaan' yang dilakukan oleh para feminist ini dapat dinilai positif dan negatif. Positif, karena mereka memperjuangkan dan melindungi hak-hak wanita. Seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi, kegiatan dengan tujuan positif ini berubah arti menjadi negatif ketika dalam proses perwujudannya melalui hal-hal yang tidak sepantasnya, seperti yang dilakukan oleh kedua feminis tersebut. Selain itu, jika yang menjadi poin para feminis adalah untuk kebebasan perempuan, maka seharusnya mereka tidak harus memaksa wanita muslim untuk mengikuti 'kaidah' feminisme yang mereka junjung. Setiap kaum feminis memiliki pandangan tersendiri terhadap bentuk keadilan dan keseteraan apa yang harus dilaksanakan dan didapat oleh wanita. Perbedaan-perbedaan keadaan wanita di setiap negara itu seharusnya disesuaikan oleh feminis dalam menjalankan tujuan penyetaraan mereka.